icon
×

Peringatan

JFolder: :files: Jalur bukan sebuah folder. Jalur: /home/pnkupang/public_html/images/galeri/tes
×

Pemberitahuan

There was a problem rendering your image gallery. Please make sure that the folder you are using in the Simple Image Gallery plugin tags exists and contains valid image files. The plugin could not locate the folder: images/galeri/tes

PERKEMBANGAN HUKUM LINGKUNGAN DI INDONESIA

(PROF.DR.TAKDIR RAHMADI, SH., LLM)

JAKARTA - HUMAS,Perkembangan hukum lingkungan modern di Indonesia lahir sejak diundangkannya Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, tanggal 11 Maret 1982 yang biasa disingkat dengan sebutan UULH 1982. UULH 1982 pada tanggal 19 September 1997 digantikan oleh Undang-undang No. 23 Tahun 1997 dan kemudian UU No. 23 Tahun 1997 (UULH 1997) juga dinyatakan tidak berlaku oleh UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (LN tahun 209 No. 140, disingkat dengan UUPPLH).

Menurut para akdemisi, hukum lingkungan merupakan bidang hukum yang disebut dengan bidang hukum fungsional, yaitu sebuah bidang hukum yang mengandung ketentuan-ketentuan hukum administrasi negara, pidana dan perdata. Jika kita cermat ketiga baik UULH 1982, UULH 1997 maupun UUPPLH 2009 menandung norma-norma undang-undang yang masuk ke dalam bidang hukum administrasi negara, pidana dan perdata.
UUPPLH 2009 sebagai sumber formal utama hukum lingkungan di Indonesia selain memuat ketentuan-ketentuan hukum dan instrumen-instrumen hukum seperti yang terkandung dalam undang-undang sebelumnya yaitu UULH 1982 dan UULH 1997 telah juga memuat norma-norma dan instrumen-instrumen hukum hukum baru. Beberapa norma hukum baru yang penting adalah tentang perlindungan hukum atas tiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup, kewenangan Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan penciptaan delik-delik materil baru. Dalam tulisan ini beberapa norma hukum baru yang akan diuraikan.

Pertama, UUPPLH telah secara tegas mengadopsi asas-asas yang terkandung dalam Delarasi Rio 1992, yaitu asas-asas tanggungjawab negara, keterpaduan, kehati-hatian, keadilan, pencemar membayar, partisipatif dan kearifan lokal. Pengadopsian ini merupakan politik hukum yang penting karena dapat memperkuat kepentingan pengelolaan lingkungan hidup mmanakala berhadapan dengan kepentingan ekonomi jangka pendek. Hakim dalam mengadili sebuah perkara dapat menggunakan asas-asas itu untuk memberikan perhatian atas kepentingan pengelolaan lingkungan hidup yang mungkin tidak diperhatikan oleh pelaku usaha ataupun pejabat pemerintah yang berwenang.

Kedua, UUPPLH, khususnya dengan Pasal 66 UUPPLH sangat maju dalam memberikan perlindungan hukum kepada orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup dari kemungkinan tuntutan pidana dan perdata. Perlindungan hukum ini sangat penting karena pada masa lalu telah ada kasus-kasus di mana para aktivis lingkungan hidup yang melaporkan dugaan terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan hidup telah digugat secara perdata atau dituntut secara pidana atas dasar pencemaran nama baik perusahaan-perusahaan yang diduga telah menimbulkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup. Di dalam sistem hukum Amerika Serikat dan Phillipina, jaminan perlindungan hukum seperti ini disebut dengan Anti SLAPP (strategic legal action against public participation), yaitu gugatan yang dilakukan oleh perusahaan yang diduga telah mencemari atau merusak lingkungan hidup kemudian menggugat si pelapor atau pemberi informasi atau whistle blower dugaan terjadinya masalah-masalah lingkungan dengan tujuan untuk menimbulkan rasa takut dan kerugian materil terhadap pelapor atau pemberi informasi maupun terhadap pihak-pihak lain di masa datang.

Gugatan SLAPP dapat mematikan keberanian anggota-anggota masyarakat untuk bersikap kritis dan menyampaikan laporan atau informasi tentang dugaan atau telah terjadinya masalah-masalah lingkungan hidup oleh sektor-sektor usaha sehingga pada akhirnya dapat menggagalkan pengelolaan lingkungan hidup yang melibatkan peran aktif masyarakat madani (civil socitey). Para hakim di Indonesia penting sekali untuk memahami kehadiran dan kegunaan Pasal 66 UUPPLH

Ketiga, UUPPLH telah menimbulkan perubahan dalam bidang kewenangan penyidikan dalam perkara-perkara lingkungan. Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia (seterusnya disingkat dengan Polri) dan pejabat Pegawai Negeri Sipil (seterusnya disingkat dengan PPNS) tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. UUPPLH merupakan salah satu undang-undang sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (1) yang menjadi dasar bagi keberadaan PPNS sebagaimana dirumuskan dalam Pasal Kewenangan Polri selain sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP, antara lain, melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, pemeriksaan dan penyitaan surat dan wewenang koordinasi atas pelaksanaan tugas PPNS (Pasal 7 ayat (2), Polri sebagai institusi yang berwenang menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum (Pasal 8 ayat (2).

Dengan demikian, berdasarkan sistem KUHAP, PPNS tidak berwenang menyerahkan berkas hasil penyidikan secara langsung kepada penuntut umum, tetapi harus melewati Polri. UUPPLH telah mengubah ketentuan yang selama ini memberikan kewenangan kepada Polri sebagai institusi satu-satunya yang dapat menyerahkan berkas hasil penyidikan kepada penuntut umum sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 8 ayat (2) KUHAP. Dengan diundangkannya UUPPLH telah menimbulkan perubahan.

Perubahan ini terjadi melalui Pasal 94 ayat (6) UUPPLH yang menyatakan: ”hasil penyidikan yang telah dilakukan oleh penyidik pegawai negeri sipil disampaikan kepada penuntut umum.” Dengan demikian, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) lingkungan hidup dapat dan berwenang untuk menyerahkan berkas hasil penyidikan secara langsung kepada penuntut umum tanpa melalui Polri lagi. Pemberian kewenangan ini memang masih harus dibuktikan secara empiris pada masa depan apakah akan membawa perkembangan positif bagi upaya penegakan hukum lingkungan pidana atau tidak membawa perubahan apapun.

UUPPLH memberikan kewenangan PPNS dalam penyidikan untuk:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
b. melakukan pemeriksaan terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari setiap orang berkenaan dengan peristiwa tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti, pembukuan, catatan dan dokumen lain;
f. melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkaratindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
g. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
h. menghentikan penyidikan;
i. memasuki tempat tertentu, memotret, dan/atau membuat rekaman audio visual;
j. melakukan penggeledahan terhadap badan, pakaian, ruangan dan/atau tempat lain yang diduga merupakan tempat dilakukannya tindak pidana
k. menangkap dan menahan pelaku tindak pidana.

Keempat, dalam UUPPLH pendekatan hukum pidana tidak sebagai upaya terakhir – yang lazim disebut dengan istilah ”ultimum remedium” - untuk menghukum perilaku usaha yang menimbulkan masalah lingkungan hidup. Dalam UULH 1997 sanksi pidana menjadi upaya terakhir setelah penegakan hukum administrasi negara tidak efektif. Dalam UUPPLH, ”ultimum remedium” hanya berlaku untuk satu Pasal saja, yaitu Pasal 100 UUPPLH yang menyatakan:
(1) Setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 000.000.000, 00.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikenakan apabila sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali.”
Dari rumusan Pasal 100 ayat (2) jelas dapat dipahami bahwa sanksi pidana yang tercantum dalam Pasal 100 ayat (1) baru dapat dikenakan jika saknis administratif tidak efektif atau pelanggaran dilakukan berulang. Hal ini berarti sanksi pidana berfungsi sebagai upaya terakhir.

Kelima, UUPPLH telah secara tegas meletakkan pertanggungjawaban pidana kepada pimpinan badan usaha yang telah menimbulkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup. Dalam UULH 1997 tidak disebut secara tegas pimpinan atau pengurus badan usaha dapat dikenai pertanggungjawab pidana. UULH 1997 hanya menggunakan istilah “yang memberi perintah” atau “yang bertindak sebagai pemimpin” dalam tindak pidana. Dalam UUPPLH 2009 pertanggungjawaban pidana pimpinan badan usaha dirumuskan dalam Pasal 116 hingga Pasal 119. Namun, UUPPLH tetap mengadopsi pertanggungjawab badan usaha (corporate liability). Pasal 116 UUPPLH memuat kriteria bagi lahirnya pertanggungjawaban badan usaha dan siapa-siapa yang harus bertanggungjawab.

Jika ditilik rumusan Pasal 116 UUPPLH, pertanggungjawaban badan usaha timbul dalam salah satu kondisi berikut yaitu (1) tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh badan usaha, atau atas nama badan usaha atau (2) oleh orang yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha. Karena badan usaha tidak dapat bekerja tanpa digerakkan oleh manusia, maka pelaku fisik tetaplah manusia, yaitu orang atas nama badan usaha atau orang yang berdasarkan perjanjian kerja, misalkan seorang karyawan atau hubungan lain, misalkan perjanjian pemborongan kerja.

Hal penting berikutnya adalah menentukan siapakah yang harus bertanggungjawab jika sebuah tindak pidana lingkungan hidup dinyatakan telah dilakukan oleh badan usaha atau korporasi. Pasal 116 ayat (1) menyebutkan ”tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada: (a) badan usaha dan/ atau (b) orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin dalam tindak pidana tersebut.” Selain itu, konsep pertanggungjawaban juga harus dipedomani ketentuan Pasal 118 UUPPLH yang menyatakan:

Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf a, sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili di dalam dan di luar pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku fungsional.
Dengan demikian, dari rumusan Pasal 116 dan Pasal 118 UUPPLH dapat diketahui bahwa ada tiga pihak yang dapat dikenai tuntutan dan hukuman ada tiga pihak yaitu:
1. badan usaha itu sendiri;
2. orang yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam tindak pidana;
3. pengurus.
Pada dasarnya tanpa rumusan Pasal 118 UUPPLH yang menyebutkan ”sanksi dikenakan terhadap badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili di dalam dan di luar pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku fungsional”, pengurus tetap juga dapat dikenai pertanggungjawaban atas dasar kriteria ”orang yang memberi perintah atau orang yang bertindak sebagai pemimpin dalam tindak pidana” sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b. Perbedaannya adalah rumusan Pasal 116 ayat (1) huruf b memang mengharuskan penyidik dan penutut umum untuk membuktikan bahwa penguruslah yang telah bertindak sebagai orang yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam tindak pidana, sehingga memerlukan kerja keras penyidik dan penuntut umum untuk membuktikan peran para pengurus dalam tindak pidana lingkungan.

Sebaliknya, menurut ketentuan Pasal 116 ayat (1) huruf b dikaitkan dengan Pasal 118, pengurus karena jabatannya secara serta merta atau otomatis memikul pertanggungjawaban pidana, sehingga lebih memudahkan dalam upaya penuntutan karena tidak membutuhkan pembuktian peran para pengurus secara spesifik dalam sebuah peristiwa pidana lingkungan. Penjelasan Pasal 118 UUPPLH memperkuat interpretasi bahwa jika badan usaha melakukan pelanggaran pidana lingkungan, tuntutan dan hukuman ”dikenakan terhadap pimpinan badan usaha atas dasar pimpinan perusahaan yang memiliki kewenangan terhadap pelaku fisik dan menerima tindakan tersebut”. Pengertian “menerima tindakan tersebut” adalah “menyetujui, membiarkan atau tidak cukup melakukan pengawasan terhadap tindakan pelaku fisik, atau memiliki kebijakan yang memungkinkan terjadinya tindak pidana tersebut.” Dengan demikian, pengurus perusahaan yang mengetahui dan membiarkan karyawan perusahaan melepas pembuangan limbah tanpa melalui pengeolahan dianggap melakukan tindak pidana atas nama badan usaha, sehingga dirinya harus bertanggungjawab.

Rumusan ketentuan dan penjelasan Pasal 118 UUPPLH merupakan sebuah terobosan atau kemajuan jika ditilik dari segi upaya mendorong para pengurus perusahaan agar secara sungguh-sungguh melaksanakan upaya pencegahan, pengendalian dan pemulihan pencemaran atau perusakan lingkungan manakala memimpin sebuah badan usaha. Rumusan Ketentuan Pasal 118 UUPPLH mirip dengan vicarious liability dalam system hukum Anglo Saxon.

Keenam, UUPPLH juga memuat delik materil yang diberlakukan kepada pejabat pemerintah yang berwenang di bidang pengawasan lingkungan. pemberlakukan delik materil ini dapat dipandang sebagai sebuah kebijakan pemidanaan yang maju dalam rangka mendorong para pejabat pemerintah untuk sungguh-sungguh melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup. Delik materil tersebut dirumuskan dalam Pasal 112 UUPPLH yaitu:
”Setiap pejabat yang berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan izin lingkungan , sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dan Pasal 72 yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, dipidana dengan pindan penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah).

Hukum lingkungan Indonesia berkembang selain karena perkembangan legislasi seperti melalui pengundangan UULH 1982, UULH 1997 dan UUPPLH 2009, juga berkembang melalui putusan-putusan pengadilan. Dua putusan Pengadilan yang dapat dipandang sebagai putusan-putusan penting (landmark decisions) adalah putusan Pengadilan Negara Jakarta Pusat dalam perkara WALHI melawan PT IIU, Menteri Perindustrian, Menteri Kehutanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Lingkungan Hidup dan Gubernur Provinsi Sumatera Utara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Gugatan WALHI diajukan pada masa berlakunya UULH 1982 yang pada dasarnya tidak secara tegas mengakui hak Lembaga Swadaya Masyarakat untuk mengajukan gugatan penegakan hukum lingkungan, tetapi majelis hakim dalam perkara tersebut menginterpretasikan hak gugat itu dari konsep peranserta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup yang memang diakui dalam UULH 1982 (Putusan perkara Walhi lawan PT IIU No. 820/Pdt/G/1988).

Putusan ini kemudian memberikan inspirasi bagi pembuat undang-undang untuk merumuskan hak gugat organisasi lingkungan hidup ke dalam undang-undang, yaitu Pasal 38 UULH 1997.
Putusan penting lainnya adalah gugatan oleh Dedi dan kawan-kawan (sebanyak delapan orang termasuk Dedi) terhadap Presiden RI, Menteri Kehutanan, Perum Perhutani, Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kabupaten Garut di Pengadilan negeri Bandung. Para Penggugat dan orang-orang yang diwakili mereka adalah korban tanah longsor Gunung Mandalawangi Kecamatan Kadungora Kabupaten Garut dan telah menderita kerugian berupa hilangnya harta benda, rusaknya lahan pertanian dan ladang, meninggalnya sanak saudara dan rusaknya fasilitas umum serta kerusakan ekosistem setempat. Majelis hakim Pengadilan Negeri dalam pertimbangnnya (No. 49/Pdt.G/2003/PN.BDG, Tanggal 28 Agustus 2003), antara lain, mengatakan bahwa negara memiliki tanggungjawab dalam pengelolaan lingkungan hidup. Tanggungjawab negara itu dilaksanakan oleh pemerintah yang dipimpin oleh Presiden Republik Indonesia, tetapi karena Presiden telah membentuk Menteri Kehutanan, maka pengelolaan kehutanan sepenuhnya telah menjadi tanggungjawab Menteri Kehutanan. Menteri Kehutanan telah memberikan kewenangan kepada Perum Perhutani Jawa Barat untuk mengelola kawasan hutan Gunung Mandalawangi.

Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kabupaten Garut sesuai dengan lingkup tugas masing-masing berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah - yang berlaku pada waktu terjadinya banjir dan longsor di Gunung Mandalawangi - juga memiliki tanggungjawab untuk melaksanakan pengelolaan kawasan hutan Mandalawangi karena kawasan hutan itu berada dalam wilayah hukum Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Garut. Majelis Hakim juga dalam pertimbanggnya mengatakan bahwa telah terjadi perubahan kebijakan pengelolaan kawasan hutan di Gunung Mandalawangi yang dilakukan oleh Menteri Kehutanan, yaitu dengan mengubah status fungsi kawasan hutan yang sebelumnya kawasan hutan lindung kemudian menjadi kawasan hutan produksi terbatas berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 419/KPTS/II/1999 dengan segala akibat-akibatnya seperti berkurangnya jumlah tegakan pohon dan kegagalan reboisasi sehingga kawasan hutan Mandalawangi tidak lagi memiliki kemampuan resapan air. Selanjutnya Majelsi hakim mengatakan bahwa kerugian lingkungan dan kerugian materiil para Penggugat yang disebabkan oleh banjir dan longsor di Gunung Mandalawangi telah faktual sehingga tidak perlu dibuktikan lagi. Masalah hukum yang masih perlu dibuktikan adalah hubungan kausalitas, yaitu perubahan fungsi kawasan hutan Gunung Mandalawangi dari kawasan hutan lindung menjadi kawasan hutan produksi yang didasarkan pada perubahan kebijakan kehutanan sebagaimana tercermin dalam SK Menteri Kehutanan No. 419/KPTS/II/1999 telah menyebabkan banjir dan longsor. Hal yang menarik adalah Majelis Hakim juga dalam pertimbangannya merujuk pada prinsip keberhati-hatian (precautionary principle) yaitu prinsip ke 15 dalam Deklarasi Rio sebagai dasar untuk pemecahan masalah tentang ”kurangnya ilmu pengetahuan” yang diperlihatkan dengan keterangan-keterangan para saksi ahli dari kedua belah pihak yang saling bertentangan sehingga keterangan mereka tidak dapat dijadikan alat bukti untuk menyimpulkan penyebab fakta telah terjadinya banjir dan longsor di Gunung Mandalawangi. Meskipun prinsip keberhati-hatian belum masuk ke dalam perundang-undangan Indonesia pada waktu perkara ini diadili, hakim ternyata telah menggunakan prinsip tersebut sebagai dasar pertimbangan putusan. Pemikiran dan pertimbangan hakim dalam kasus ini tidak terlepas dari fakta bahwa salah seorang majelis hakim di tingkat pertama yang mengadili pernah mengikuti pelatihan hukum lingkungan yang antara lain membahas fungsi prinsip-prinsip yang tercantum dalam Deklarasi Rio sebagai sumber hukum.

Pengetahuannya yang diperoleh selama pelatihan telah memperluas wawasan dan digunakan dalam praktik hukum. Fakta ini membuktikan pula pentingnya hakim terus menerus meningkatkan pengetahuan melalui pendidikan gelar maupun non gelar, misalkan pelatihan-pelatihan. Oleh sebab itu, kebijakan Ketua MA untuk menyelenggarakan program sertifikasi hakim lingkungan sebagaimana didasarkan pada Keputusan Ketua MA RI No. 134/KMA/SKIX/2011 tentang Sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup merupakan sebuah kebijakan yang tepat karena melalui program ini kapasitas hakim dalam menangani perkara lingkungan dapat terus ditingkatkan.

PIMPINAN PENGADILAN SEMESTINYA ADALAH AGEN PERUBAHAN BAGI REFORMASI PERADILAN (AGENT of CHANGE for JUDICIAL REFORM)

(DR. RIDWAN MANSYUR, SH., MH)

Setiap pemimpin semestinya adalah Agen Perubahan. Reformasi birokrasi pada dasarnya merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan yang menyangkut aspek-aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (business prosess) maupun sumber daya manusia aparatur. Reformasi birokrasi dilaksanakan dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik good governance

Reformasi birokrasi adalah langkah strategis untuk membangun aparatur negara agar lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam mengemban tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional. Pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi informasi dan komunikasi serta perubahan lingkungan strategis menuntut birokrasi pemerintahan untuk direformasi dan disesuaikan dengan dinamika tuntutan masyarakat. Oleh karena itu harus segera diambil langkah-langkah yang bersifat mendasar, komprehensif, dan sistematik, sehingga tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan dapat dicapai dengan efektif dan efisien. Reformasi di sini merupakan proses pembaharuan yang dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan, sehingga tidak termasuk upaya dan/atau tindakan yang bersifat radikal dan revolusioner.



Mahkamah Agung (MA) sebagai salah satu puncak kekuasaan kehakiman serta peradilan negara tertinggi mempunyai posisi dan peran strategis di bidang kekuasaan kehakiman karena tidak hanya membawahi 4 (empat) lingkungan peradilan tetapi juga manajemen di bidang administratif, personil dan finansial, serta sarana dan prasarana. Kebijakan “satu atap” memberikan tanggungjawab dan tantangan karena MA, Pengadilan Tingkat Banding sampai Tingkat Pertama dituntut untuk menunjukkan kemampuannya mewujudkan organisasi lembaga yang profesional, efektif, efisien, transparan, dan akuntabel. Dengan meningkatnya reformasi di peradilan, hal tersebut akan berdampak pada semakin besarnya tuntutan transparansi dan informasi publik. Adanya pembaruan yang berkelanjutan dapat meningkatkan citra peradilan di mata masyarakat, badan legislatif maupun eksekutif di Indonesia. Saat ini kita telah memasuki tahun ke empat Cetak Biru (Blue Print) ke Dua 2010-2035.

Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negera dan Reformasi Birokrasi dalam buku nya yang berjudul ”Reformasi Birokrasi Dalam Praktik” edisi Mei 2013, (pada Kata Pengantar) menyampaikan bahwa cara-cara baru menerapkan reformasi birokrasi tidak terlalu baru. Di sektor swasta banyak hal yang sudah di praktikkan : Pelayanan satu pintu, elektronisasi pelayanan, remunerasi berbasis kinerja dan lain sebagainya. Banyak penelitian dilakukan dan konfrensi/seminar digelar untuk mencari tahu cara terbaik menjadi birokrasi publik direformasi dari sebelumnya.

Pimpinan Pengadilan sebagai Agen Perubahan untuk Reformasi Birokrasi

Reformasi birokrasi adalah reformasi pelayanan publik itu sendiri. Perlu diakui, bahwa upaya perbaikan pelayanan publik sudah dilakukan. Standarisasi pelayanan publik sudah diberlakukan untuk pelayanan dasar. UU Nomor 25 tahun 2009 dan SK KMA Nomor 26 tahun 2012 memapankan pengaturannya. Modernisasi pelayanan dengan instrumentasi teknologi informasi juga merupakan suatu keniscayaan; seperti info perkara dan direktori putusan pada Mahkamah Agung RI, serta lahirnya pengaturan dalam SK KMA Nomor 119/2013 tentang Penetapan hari musyawarah dan ucapan pada Mahkamah Agung RI yang dikeluarkan oleh Ketua Mahkamah Agung RI (Dr. H.M. Hatta Ali, SH.,MH) pada tanggal 19 Juli 2013, CTS (Case Tracking System)/SIPP, SIADPA dan SIADPA MILTUN pada pengadilan.

Kondisi dan perubahan cepat yang diikuti pergeseran nilai tersebut perlu disikapi secara bijak melalui langkah-langkah kegiatan yang terus menerus dan berkesinambungan dalam berbagai aspek pembangunan untuk membangun kepercayaan masyarakat guna mewujudkan tujuan pembangunan nasional.

Sebagaimana dokumen Cetak Biru Perubahan Peradilan 2010-2035, arah kebijaksanaan Mahkamah Agung RI pada 25 tahun mendatang adalah ”Mewujudkan Badan Peradilan Yang Agung” yang sudah tentu hal ini akan menjadi arah dan tujuan bagi setiap pengembangan program dan kegiatan yang akan dilakukan di area-area fungsi teknis serta fungsi pendukung dan fungsi akuntabilitas.

Dalam Cetak Biru Perubahan Peradilan 2010-2035 juga di jelaskan ada 6 fungsi Pelaksanaan Fungsi Pendukung, yaitu : Manajemen Sumber Daya Manusia, Manajemen Sumber Daya Keuangan, Manajemen Sarana dan Prasarana, Manajemen Teknologi dan Informasi (TI), Transparansi Peradilan dan Fungsi Pengawasan. Dengan demikian supremasi hukum dan pemerintahan yang bersih yang didukung oleh partisipasi dari masyarakat dan atau lembaga kemasyarakatan untuk melakukan fungsi kontrol terhadap pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan merupakan faktor pendukung dari terlaksana dan tercapainya reformasi birokrasi.

Pelaksanaan reformasi birokrasi di Indonesia mensyaratkan suatu struktur penyelenggara reformasi birokrasi. Sebuah premis yang mempunyai konsekuensi logis menyatakan bahwa setiap pemimpin reformasi birokrasi perlu pengawasan ke dalam (in control) dalam reformasi birokrasinya dalam Buku yang berjudul ”Pemimpin dan Reformasi Birokrasi” edisi Februari 2013 terbitan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negera dan Reformasi Birokrasi. Tentu saja Pimpinan Lembaga lain dapat mengambil peran ini.

Seorang pemimpin di Pengadilan harus mampu memberikan pemahaman bahwa reformasi tidak akan mengenakkan bagi sebagian orang, dan cenderung akan menimbulkan resistensi, sehingga harus siap melakukan melakukan manajemen perubahan. Para pemimpin juga harus memiliki karakteristik yang harus ditanamkan dan diperjuangkan. Seorang pemimpin harus visioner dan berpikir melebihi kemampuan orang (thinking ahead), berpikir terus menerus (thinking again) dan berpikir lintas batas (out of the box/out of the book).

Ada empat hal yang penting yang perlu dimiliki oleh seorang pemimpin. Bila keempat ini dimiliki, pemimpin akan mendapat kekuatan dari dalam diri untuk menjadi agen perubahan. Juga akan mendapat dukungan dari berbagai pihak dalam menyelesaikan tugas yang diemban. Pertama, mampu menjadi penggerak sekaligus pendorong pemecahan masalah yang dihadapi. Kedua, senantiasa memberikan keteladanan bagi staf/bawahan. Ketiga, dengan sepenuh hati bekerja lebih keras dari pada staf/bawahan. Dan keempat, tentu saja pemimpin yang berorientasi pada perubahan yang senantiasa konsisten melakukan semua hal yang baik.

Dewasa ini penyelenggaraan pelayanan publik masih dihadapkan pada kondisi yang belum sesuai dengan kebutuhan dan perubahan di berbagai kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal tersebut bisa disebabkan oleh ketidaksiapan untuk menanggapi terjadinya transformasi nilai yang berdimensi luas serta dampak berbagai masalah pembangunan yang kompleks.

Secara umum Standar Pelayanan di Pengadilan meliputi : Pelayanan Administrasi Persidangan, Pelayanan Bantuan Hukum, Pelayanan Pengaduan dan Pelayanan Permohonan Informasi. Secara khusus masing-masing pengadilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan TUN dan Peradilan Militer) juga memiliki Standar Pelayanan sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing.

Pelayanan Publik berbasis teknologi informasi kini dijadikan sebuah solusi praktis. Pelayanan berbasis teknologi merupakan sebuah inovasi yang terus berkembang demi melayani kebutuhan masyarakat, khususnya kebutuhan akan informasi. Tak terkecuali di pengadilan, hampir di seluruh pengadilan tengah bekerja keras untuk dapat membangun sistem informasi perkaranya berbasis teknologi. Pelayanan seperi ini ini juga telah diterapkan di Mahkamah Agung Singapura dengan sangat representatif sebagai peradilan modern dengan E-Document dan E-Litigation yang kesemuanya berbasis IT.

Layanan ini memberikan aspek layanan publik yang sangat ideal bagi manajemen perkara yang cepat, akurat dan mudah. Sebagaimana sistem informasi penelusuran dan manajemen perkara dan manajemen administrasi serta keuangan Mahkamah Agung dan Pengadilan, terbukti tidak kurang dari tahun 2012 sampai dengan tahun 2013, capaian seperti penghargaan opini WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) dari BPK, penghargaan penyerapan anggaran terbaik untuk Mahkamah Agung RI, Penghargaan tertinggi untuk survey integritas sektor publik tahun 2013 dari KPK dan prinsip SK KMA Nomor 119/2013 tentang Penetapan hari musyawarah dan ucapan pada Mahkamah Agung RI.

Akhirnya, pemimpin Pengadilan yang berhasil adalah pemimpin yang menyadari bahwa kepemimpinan yang berkenan dengan manusia, dari manusia, oleh manusia dan untuk manusia. Kerena perubahan adalah kata yang disadari atau tidak adalah kata yang tidak banyak disukai. Manajemen perubahan pada dasarnya sesulit perubahan itu sendiri.

Tentu saja kita bertanggung jawab memberikan pelayanan terbaik secara sederhana, mudah dan ramah kepada mereka untuk memperoleh akses keadilan ini dengan niat ibadah dan membantu sesama.

Semoga Bermanfaat.

Kode Etik Panitera dan Jurusita

KEPUTUSAN KETUA MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA
NO : 122/KMA/SK/VII/2013
TENTANG KODE ETIK PANITERA DAN JURUSITA
KETENTUAN UMUM

Pengertian


PASAL 1

     Yang dimaksud dengan kode etik Panitera dan Jurusita ialah aturan tertulis yang wajib dipedomani oleh setiapPanitera dan Jurusita dalam melaksanakan tugas peradilan. Yang dimaksud dengan Panitera ialah Panitera, Kepala Panitera Militer, Wakil Panitera, Panitera Muda dan Panitera Pengganti pada Mahkamah Agung Rl dan Pengadilan tingkat banding dan Pengadilan tingkat pertama dari 4 (empat) lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung Rl yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer.
Yang dimaksud dengan Jurusita ialah Jurusita dan Jurusita Pengganti yang diangkat untuk melaksanakan tugas kejurusitaan pada Pengadilan tingkat pertama dibawah Mahkamah Agung Rl yaitu Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama dan Pengadilan Tata Usaha Negara.
Azas Peradilan yang baik ialah prinsip-prinsip yang wajib di junjung tinggi oleh Panitera dan Jurusita dalam melaksanakan tugasnya untuk mewujudkan peradilan yang mandiri sesuai ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku.

Organisasi IPASPI adalah Organisasi Ikatan Panitera Sekretaris Pengadilan Indonesia Panitera dan Jurusita berada di bawah organisasi IPASPI.

MAKSUD DAN TUJUAN


PASAL 2

     Kode etik Panitera dan Jurusita ini dibuat untuk menjaga kehormatan, keluhuran martabat atau harga diri yang mulia sebagaimana layaknya seorang Panitera dan Jurusita yang memberikan pelayanan prima dan adil kepada masyarakat pencari keadilan tanpa membeda-bedakannya berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

SIKAP PANITERA DAN JURUSITA


DALAM MELAKSANAKAN TUGAS


PASAL 3

     Panitera dan Jurusita wajib melayani masyarakat pencari keadilan dengan pelayanan yang prima yaitu dengan sopan, teliti, dan sungguh-sungguh serta tidak membeda-bedakan berdasarkan status sosial, golongan dan menjaga serta menumbuhkan kepercayaan masyarakat pencari keadilan.
Panitera wajib menjaga kewibawaan dalam persidangan.
Panitera dan Jurusita dalam melaksanakan tugasnya wajib bersikap sopan dan santun serta tidak melakukan perbuatan tercela.
Panitera dan Jurusita dilarang memberikan kesan memihak kepada salah satu pihak yang berperkara atau kuasanya termasuk Penuntut Umum dan saksi sehingga seolah-olah berada dalam posisi istimewa.
Panitera dilarang membocorkan hasil musyawarah/konsep putusan kepada siapapun.
Jurusita dilarang mewakilkan kepada siapapun penyampaian relaas panggilan maupun pemberitahuan.

SIKAP PANITERA DAN JURUSITA DALAM PERSIDANGAN


PASAL 4

Panitera wajib berpakaian rapi sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan duduk dengan sopan dalam mengikuti sidang pemeriksaan perkara.
Panitera wajib adil dan tidak membeda-bedakan para pihak dalam memanggil ke dalam ruang persidangan.
Panitera dilarang mengaktifkan hand phone/telepon selular selama persidangan berlangsung. (jo. Pasal 3 ayat 2)
Panitera dilarang mengantuk/tidur selama persidangan berlangsung. (jo. Pasal 3 ayat 2)

SIKAP PANITERA DAN JURUSITA Dl LUAR PERSIDANGAN


PASAL 5

Panitera dan Jurusita dilarang menjadi penasehat hukum baik langsung atau tidak langsung kecuali diatur dalam

Undang-Undang. (jo. Pasal 36 UU No. 49 Tahun 2009)
Panitera dan Jurusita dilarang menjadi penghubung dan memberikan akses antara pihak berperkara atau kuasanya dengan

Pimpinan Pengadilan atau Majelis Hakim.
Panitera dilarang membawa berkas perkara ke luar kantor kecuali atas izin Ketua Pengadilan/Ketua Majelis.
Panitera dan Jurusita dilarang memasuki tempat perjudian, tempat minuman yang memabukkan dan tempat prostitusi

kecuali dalam melaksanakan tugas.

SIKAP PANITERA DAN JURUSITA DALAM KEDINASAN


PASAL 6

     Panitera dan Jurusita wajib mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat daripada kepentingan pribadi atau golongan.
Panitera dan Jurusita wajib mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa serta memegang teguh rahasia negara dan rahasia jabatan sesuai dengan sumpah jabatannya.Panitera sebagai Pimpinan Kepaniteraan Pengadilan, didalam menjalankan tugasnya wajib memiliki kepribadian terpuji, bijaksana, berilmu, sabar, tegas, disiplin, penuh pengabdian, dan rela berkorban demi peiaksanaan tugas.
Demi terpeliharanya kemantapan dan kelancaran peiaksanaan tugas serta untuk menegakkan citra yang baik dalam tugas pelayanan, Panitera dan Jurusita wajib mentaati dan meningkatkan 3 (tiga) tertib yaitu:
a. Tertib Administrasi
b. Tertib Perkantoran
c. Tertib Jam Kerja

SIKAP TERHADAP SESAMA


PASAL 7

Panitera dan Jurusita wajib memelihara dan memupuk hubungan kerjasama yang baik antara sesama pejabat kepaniteraan dan pejabat peradilan lainnya.

Panitera dan Jurusita wajib memiliki rasa setia kawan, tenggang rasa dan saling menghargai antara sesama pejabat

peradilan.
Panitera dan Jurusita wajib memelihara, membina kesatuan dan persatuan sesama aparat peradilan, berjiwa kesatria dan bertanggung jawab.

SIKAP TERHADAP BAWAHAN


PASAL 8

Panitera wajib memiliki sifat kepemimpinan, memberikan keteladanan dengan lugas dan dilandasi oleh sikap kekeluargaan.
Panitera wajib membina/membimbing bawahan untuk meningkatkan ilmu pengetahuan.

SIKAP PANITERA DAN JURUSITA Dl LUAR KEDINASAN


PASAL 9

Panitera dan Jurusita wajib menjaga kerukunan, keharmonisan dan keutuhan rumah tangga.
Panitera dan Jurusita wajib memiliki rasa tanggung jawab terhadap keluarga.

SANKSI


PASAL 10

     Kode Etik ini mengikat secara hukum kepada Panitera dan Jurusita di lingkungan Mahkamah Agung Rl dan 4 (empat) lingkungan peradilan di bawahnya dan pelanggaran terhadap kode etik ini dapat dijatuhi hukuman disiplin sesuai ketentuan perundangan yang berlaku.

Panitera dan Jurusita yang akan dijatuhi hukuman pemberhentian dengan hormat atau tidak dengan hormat dari Pegawai Negeri Sipil terlebih dahulu diberi hak membela diri dihadapan Majelis Dewan Kehormatan Panitera dan Jurusita.

DEWAN KEHORMATAN PANITERA DAN JURUSITA


PASAL 11

Susunan Dewan Kehormatan Panitera dan Jurusita terdiri dari 5 (lima) orang yaitu:
1. 1 (satu) orang Pejabat dari Direktorat Jenderal yang bersangkutan.
2. 1 (satu) orang Pejabat dari Kepaniteraan Mahkamah Agung Rl.
3. 2 (dua) orang Pengurus IPASPI Pusat.
4. 1 (satu) orang Pengurus IPASPI Daerah.

TUGAS DAN WEWENANG DEWAN KEHORMATAN


PASAL 12

1.Dewan Kehormatan Panitera dan Jurusita mempunyai tugas :
  a. Mempelajari hasil pemeriksaan yang bersangkutan yang tertuang dalam Berita Acara Pemeriksaan.
  b. Mendengar dan memperhatikan pembelaan atas diri Panitera dan Jurusita yang akan dijatuhi hukuman.
2.Dewan Kehormatan Panitera dan Jurusita berwenang:
  a. Memanggil Panitera dan Jurusita untuk didengar keterangannya sehubungan adanya saran tindak lanjut untuk           dijatuhi hukuman.
 b. Memberikan rekomendasi kepada pejabat yang berwenang berdasarkan hasil sidang majelis kehormatan Panitera       dan Jurusita.

PENUTUP

PASAL 13

     Kode Etik ini dinyatakan sah dan mengikat kepada seluruh Panitera dan Jurusita pada Mahkamah Agung Rl dan 4 (empat) lingkungan peradilan di bawahnya terhitung mulai tanggal ditandatangani oleh Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia.

.

Jakarta, 25 Juli 2013


KETUA MAHKAMAH AGUNG


REPUBLIK INDONESIA

 

DR. H. M. HATTA ALI, SH. MH.